Jihad Pendidikan: Mengalahkan Inferioritas

Dalam suatu debat kusir antar netizen di ruang media sosial, terjadi dialog yang memanas antara dua pihak yang berlawanan. Satu pihak menganggap bahwa umat Islam tidak memiliki peran apa pun dalam kemajuan peradaban saat ini. Umat Islam terkesan terbelakang, jumud, sulit diajak kompromi dan cenderung sibuk bertikai dengan sesamanya. Baginya, sulit menemukan peran berarti dari umat Islam jika mendeskripsikan megahnya pencapaian abad modern. Belum lagi jika meninjau kondisi Timur Tengah dewasa ini, penuh dengan “keriuhan” jika tidak ingin disebut sebagai kekacauan. Keriuhan tersebut menegaskan bahwa alih-alih berkontribusi pada peradaban, justru memicu kemunduran yang lebih besar dalam berbagai hal.

Di pihak seberang, netizen lain beranggapan bahwa justru pondasi kemajuan yang dirasakan masyarakat global saat ini adalah kontribusi dari umat Islam terdahulu. Benar umat Islam saat ini “terbelakang” dalam beberapa hal yang vital. Namun, nun jauh ratusan tahun yang lalu, berbagai invensi sudah dilakukan oleh umat dalam berbagai bidang. Ada Al-Khawarizmi dengan penemuan al-jabarnya. Abu Wafa Al Buzjani dalam pengembangan geometri dan trigonometri dalam bidang matematika dan astronomi. Al Jazari dengan penemuan jam gajahnya. Ibnu Sina yang menginspirasi eropa dengan Al-Qanun fi At-Tib (di eropa dikenal dengan Canon of Medicine). Al-Zahrawi yang berkontribusi dalam ilmu bedahnya. Al-Haitsami dalam bidang optiknya yang diabadikan dalam kitab Al-Manazir (Book of Optics). Seakan tidak pernah habis jika para tokoh inventor muslim terus menerus disebutkan. Pertanyaan klimaks dari pihak ini, “mungkinkah semua pencapaian peradaban sekarang diperoleh tanpa didasari berbagai invensi tersebut ?” . Pertanyaan yang lebih meminta pengakuan dari pada jawaban itu sendiri.

Gambaran singkat tentang perdebatan di atas adalah miniatur dari perasaan komunal umat Islam saat ini. Betapa umat tertinggal dalam banyak hal. Tersisih dari percaturan sains, ekonomi, politik dan kemiliteran di level global. Berkuantitas namun kurang berkualitas. Banyak namun tidak menentukan. Lalu perasaan inferior pun berhembus menembus relung dada. Menyesakkan namun itu realitas. Jika hal tersebut diungkit, maka kejayaan masa lalu menjadi penangkisnya. Nostalgia betapa hebatnya umat Islam dalam periode golden age digaungkan untuk menangkis serangan “umat ini adalah beban peradaban”.

Tentu saja semua kontribusi para inventor muslim masa lalu itu benar adanya. Besar peranannya. Luas pengaruhnya. Semua orang yang jujur dan objektif pada sejarah akan mengakuinya. Namun, bukankah saat ini situasinya berbalik arah ?. Umat yang dulu diperhitungkan peranannya malah “terkucilkan”. Kontribusinya tetap ada namun tidak sekeras dan sekuat para pendahulu dulu. Para inventor tetap bermunculan dari kalangan umat, namun tidak sebanding dengan yang dihasilkan komunitas dari luar.

Namun ada satu sisi positif dari realitas dewasa ini. Bahwa semua sepakat umat tertinggal dan harus melakukan sesuatu untuk mengejarnya. Terus menerus bernostalgia dengan kejayaan masa lalu hanya akan memperburuk keadaan. Diam dengan situasi yang ada sama saja dengan membiarkan generasi penerus mengalami kegagalan yang sama. Bergerak mengubah keadaan satu-satunya langkah realistis. Namun, dari manakah titik terbaik untuk memulainya ?

URGENSI PENDIDIKAN

Berapa guru yang tersisa?”, tanya Kaisar Hirohito setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak dibom oleh Amerika Serikat. Pertanyaan kaisar tersebut masyhur menjadi argumentasi awam betapa pentingnya pendidikan untuk mengangkat masyarakat dari keterpurukan. Militer boleh kalah, ekonomi tak berdaya, namun pendidikan adalah kunci. Hiroshima dan Nagasaki yang dulunya hancur, saat ini telah menjadi salah satu kota industri paling penting di Jepang.

Ketika Nabi Muhammad ﷺ diutus sebagai rasul di Mekah, hal pertama yang beliau benahi adalah wawasan pengikutnya tentang risalah Islam yang dibawa. Nabi ﷺ  tidak serta merta frontal memberangus kemusyrikan yang melekat dalam pada pada Bani Quraisy. Pendidikan (dakwah) dimulai pada lingkungan terdekat terlebih dahulu. Jadilah Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan tujuh sahabat lainnya menerima Islam lebih awal. Generasi awal tersebut diberikan tarbiyyah yang menanamkan tauhid dan mentalitas pejuang. Perjalanan Islam selanjutnya yang tidak mudah pun akhirnya mampu dihadapi dengan jiwa yang sudah ditempa matang.

كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ – قَالَتْ – فَغِرْتُ يَوْماً فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْراً مِنْهَا. قَالَ « مَا أَبْدَلَنِى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْراً مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِى إِذْ كَفَرَ بِى النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِى إِذْ كَذَّبَنِى النَّاسُ وَوَاسَتْنِى بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِى النَّاسُ وَرَزَقَنِى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِى أَوْلاَدَ النِّسَاءِ »

Nabi ﷺ ketika menceritakan Khadijah pasti ia selalu menyanjungnya dengan sanjungan yang indah. Aisyah berkata, “Pada suatu hari aku merasa cemburu (kepada Khadijah).” Ia berkata, “Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, padahal ia seorang wanita yang sudah tua. Sedangkan Allah telah menggantikannya untukmu dengan wanita yang lebih baik darinya.” Nabi ﷺ lalu menyampaikan, “Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanita pun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya (Khadijah) anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” (HR. Ahmad, 6:117).

Pujian Nabi ﷺ kepada Siti Khadijah ra adalah bukti bahwa perjuangan yang dilakukan penuh lika-liku yang sangat sulit. Siti Khadijah menjadi penguat dan pendorong ketegaran Nabi ﷺ dalam menyebarkan dakwah. Semua itu dilakukan dalam rentang waktu yang panjang. Tentu mentalitas yang lemah dan mudah mengeluh tidak akan bertahan dengan situasi yang sedemikian sulit. Seandainya Siti Khadijah ra tidak memahami pentingnya gerakan yang dilakukan oleh Nabi ﷺ, beliau tidak akan rela mengeluarkan hartanya hingga hampir tidak tersisa lagi. Sungguh, Nabi ﷺ telah berhasil mendidik istrinya sebagai penopang dalam memuluskan perjuangan. Rasulullah ﷺ telah menjalankan fungsi pendidikan untuk memuluskan dakwah.

Pondasi membangun masyarakat hanya akan berhasil dengan keseimbangan antara ekspansi pengaruh ke wilayah luar dan perbaikan kondisi internal. Dalam kondisi geopolitik pada masa itu, Nabi Muhammad ﷺ mengambil kebijakan untuk mendapatkan dukungan dari kekuatan di sekitarnya. Beberapa futuhat dilakukan sebagai manifestasinya. Pengaruh Islam meluas dengan menjadikan Madinah sebagai pusat pemerintahan. Peran umat Islam semakin diperhitungkan di Jazirah Arab. Di internal, kaum muslimin diberikan tarbiyah untuk mempersiapkan generasi penerus yang kuat. Tidak semua sumber daya dikerahkan untuk futuhat. Pembagian peran yang proporsional diterapkan secara bijaksana.

Allah swt menegaskan bahwa peran dalam pemberdayaan umat harus dilakukan dari berbagai sisi. Umat Islam tidak dibenarkan seluruhnya terjun ke medan perang. Harus ada yang mengambil tanggung jawab dalam bidang pendidikan. Bertugas untuk belajar dan memperdalam ilmu. Ilmu yang dapat menunjang kualitas hablumminallah dan hablumminannas. Ilmu yang meningkatkan kesejahteraan hidup umat secara komunal. Serta mampu menyebarkan ilmu tersebut ke masyarakat luas. Sehingga umat terjaga keimanan dan ketakwaannya, sebagai puncak dari keberhasilan sebagai insan kamil.

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya? (Q.S. At-Taubah, 9: 122)

Kedudukan yang tinggi juga Allah swt janjikan bagi orang-orang yang beriman dan berpendidikan. Janji Allah swt adalah kepastian. Allah tidak akan berjanji kecuali akan mewujudkannya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hujurat : 11)

Pengertian orang-orang yang Allah swt berikan ilmu harus dipahami dengan luas. Orang berilmu tidak dibatasi sekat gelar pendidikan atau tingkatan pendidikan tertentu. Berilmu diukur dengan indikator bermanfaat secara luas bagi kemaslahatan khalayak. Level pendidikan formal yang ditempuh tidak menjadi satu-satunya tolok ukur bagi keilmuan seseorang. Karena ilmu dapat diperoleh dari mana saja. Didapatkan dari siapa saja. Prinsipnya adalah keselarasan ilmu dengan nilai-nilai yang Allah swt gariskan dalam syariat.

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DAN SOLUSINYA

Problematika pendidikan di kalangan umat Islam sangat kompleks. Menurut hemat penulis, problem yang paling esensial adalah paradigma umat yang keliru tentang ilmu. Mental umat untuk menuntut ilmu juga kurang tertempa dengan baik. Masalah ini terus-menerus menggerus kejayaan umat dari era kegelimangan menuju era kemunduran di masa modern.

Ada persepsi di masyarakat muslim bahwa ilmu terbagi dua, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Ilmu dunia adalah ilmu yang tidak berhubungan langsung dengan ibadah mahdhoh, sebaliknya ilmu akhirat yang berhubungan langsung dengan ibadah mahdhoh. Persepsi ini berefek domino. Akibatnya, yang dianggap sebagai ilmu dunia dinilai kurang penting atau bahkan tidak penting. Ilmu dunia tidak membawa kemaslahatan yang besar terhadap umat. Menguasai “ilmu dunia” hanya akan menyebabkan pengabaian kewajiban sebagai hamba Allah. Ambisi mengejar ilmu dunia adalah indikasi rendahnya kualitas keimanan. Sedangkan ambisi dalam mengejar “ilmu akhirat” adalah bentuk kemuliaan mutlak. Jika ilmu akhirat dikuasai, maka dunia juga ikut termasuk di dalamnya.

Sehingga, penguasaan umat terhadap ilmu kedokteran, ekonomi, politik, sains dan humaniora, kalah jauh dibandingkan dengan golongan lain. Hampir pada semua bidang ilmu tersebut, andil umat sangat minor. Ketergantungan ini mengakibatkan umat tidak berperan banyak dalam arah kebijakan global. Sering kali, kebijakan global tidak memihak pada umat karena tidak diperhitungkan.

Efek lainnya adalah kemakmuran umat secara keseluruhan berada pada level menengah ke bawah. Sedikit saja persentase umat yang mampu menyentuh level atas. Kalau pun ada, lebih karena faktor heritage dari generasi sebelumnya. Kelemahan dalam penguasaan “ilmu dunia” berdampak pada lemahnya penguasaan teknologi, sains dan ilmu pengetahuan lainnya. Berlanjut kepada lemahnya inovasi dan terobosan baru. Padahal inovasi pada berbagai bidang sangat dibutuhkan untuk mengangkat martabat hidup milyaran umat.

Dikotomis ilmu tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya ﷺ . Prinsip dasar ilmu dalam Islam adalah “kebermanfaatan”. Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan kemaslahatannya, adalah ilmu yang diwajibkan untuk dikuasai oleh umat Islam. Tidak pernah ada pemisahan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat.

أَفَلَمۡ يَنظُرُوٓاْ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَوۡقَهُمۡ كَيۡفَ بَنَيۡنَٰهَا وَزَيَّنَّٰهَا وَمَا لَهَا مِن فُرُوجٖ ٦ وَٱلۡأَرۡضَ مَدَدۡنَٰهَا وَأَلۡقَيۡنَا فِيهَا رَوَٰسِيَ وَأَنۢبَتۡنَا فِيهَا مِن كُلِّ زَوۡجِۢ بَهِيجٖ ٧ تَبۡصِرَةٗ وَذِكۡرَىٰ لِكُلِّ عَبۡدٖ مُّنِيبٖ ٨

Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun. Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata. Untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah) (Q.S. Qaf: 6-8)

Allah swt memerintahkan untuk menjadikan semua fenomena langit dan bumi sebagai pelajaran dan peringatan akan kekuasaan-Nya. Mungkinkah semua fenomena tersebut dapat diresapi sebagai tazkirah tanpa diteliti dengan serius dan terstruktur ?. Mustahil dapat terjadi. Untuk menganalisis berbagai fenomena alam perlu penguasaan pada berbagai disiplin ilmu yang relevan. Semuanya memiliki keterkaitan erat. Apakah jika menguasai semua disiplin tersebut, yang digunakan untuk memahami tazkirah Allah yang terhampar di alam semesta dapat disebut sebagai ilmu dunia ?. Tentu saja tidak. Maka ilmu dunia dan ilmu akhirat tidak dikenal dalam Islam. Penentunya adalah kebermanfaatan ilmu tersebut kepada umat dan alam secara menyeluruh. Semua ilmu sangat dianjurkan untuk dikuasai oleh Islam demi menebar kebaikan bagi semesta.

Kebenaran ini harus disebarkan secara masif dan intens. Umat harus memiliki alternatif pemikiran kritis, untuk mengimbangi kedangkalan berpikir dalam dikotomisasi “ilmu dunia dan ilmu akhirat”. Paradigma perlu untuk umat diperbaiki. Dengan paradigma baru ini, diharapkan kelas dan peran umat di kancah global menjadi meningkat. Diperhitungkan dalam catur perpolitikan, ekonomi, militer dan pendidikan.

Salah satu sektor yang paling penting dalam perubahan paradigma ini adalah pendidikan. Dikotomis pendidikan di kalangan umat Islam masih sangat kental. Perlu ada pencerahan agar umat tidak semakin lama jatuh dalam kemunduran dan ketertinggalan. Bentuk kurikulum di pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam harus memandang bahwa semua ilmu memiliki kedudukan yang sama. Sama-sama dapat digunakan untuk meraih ridha Allah swt dan memakmurkan umat. Pada sebagian perguruan tinggi Islam, sudah ada benih-benih ke arah ini. Ada konsep wahdatul ‘ulum, integrasi keilmuan, islamisasi ilmu dan lainnya. Bahkan beberapa diantara konsep tersebut sudah termanifestasi ke dalam program yang riil. Namun, perlu ada usaha yang lebih keras dan konsisten agar dampaknya lebih terasa secara luas. Jika umat terdahulu dihadapkan dengan jihad fisik, maka pada abad modern,  inilah jihad yang paling ideal dan krusial. Jihad pendidikan. Memperjuangkan kemakmuran umat dengan mengubah paradigma tentang ilmu melalui jalur pendidikan. Masa-masa keemasan Islam pada 750 – 1258 Masehi juga ditopang dengan invensi pada berbagai disiplin ilmu, seperti astronomi, kedokteran, kimia, matematika, antropologi, dan sebagainya. Semuanya diperoleh berdasarkan paradigma pendidikan yang memandang bahwa ilmu itu satu, dan Islam menuntut agar umat menguasai semuanya. Semoga kejayaan tersebut dapat terulang kembali, dan umat kembali mendapatkan marwah pada level global.

Khairuddin Hasan, M.Pd
khairuddinhasan@staindirundeng.ac.id
Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam